Kamis, 21 April 2011

TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG


2.1. Pengertian Money Laundering
Istilah money laundering pertama kali digunakan oleh Amerika. Istilah tersebut menunjuk kepada pencucian hak milik mafia, yaitu hasil usaha yang diperoleh secara gelap yang dicampurkan dengan maksud menjadikan seluruh hasil tersebut seolah olah diperoleh dari sumber yang sah. Singkatnya, istilah money laundering kali pertama digunakan dalam konteks hukum dalam sebuah kasus di Amerika Serikat pada tahun 1982. Kasus tersebut menyangkut denda terhadap pencucian uang hasil penjualan kokai Kolombia[1].
 Dalam perkembangannya proses yang dilakukan lebih kompleks lagi dan sering menggunakan cara mutakhir sedemikian rupa sehingga seolah olah uang yang diperoleh benar benar alami. Sementara Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF) merumuskan bahwa money loundering adalah proses menyembunyikan atau menyamarkan asal usul hasil kejahatan.[2] Proses tersebut untuk kepentingan penghilangan jejak sehingga memungkinkan pelakunya menikmati keuntungan keuntungan itu dengan tanpa mengungkap sumber perolehan. Penjualan senjata illegal, perdagangan manusia dan kegiatan kegiatan lain yang dapat menghasilkan uang banyak dapat mendorong untuk menghalalkan (legitimasi) hasil yang diperoleh melalui money laundering. Bahkan dengan teknologi money laundering dapat menjadi salah satu bentuk dari cyber crime.[3]
 Sementara menurut pasal 1 UU No. 25 tahun 2003 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, bahwa pencucian uang adalah perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa keluar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal usul harta kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah.[4]
Dunia internasional sepakat melarang kejahatan yang berhubungan dengan narkotika dan pencucian uang. Kesepakatan ini dituangkan dalam sebuah Konvensi the United Nation Convention Against Illicit Trafic in Narcotics, Drugs and Psycotropic Substances of 1988, yang biasa disebut dengan the Vienna Convention, disebut juga UN Drug Convention 1988 yang mewajibkan para anggotanya untuk menyatakan pidana terhadap pelaku tindakan tertentu yang berhubungan dengan narkotika dan money laundering.[5]
Perhatian dunia Internasional tersebut tidak mengeherankan, karena money laundering merupakan kejahatan yang menimbulkan dampak negatif sangat luar biasa. Menurut pemerintah Canada dalam suatu paper yang dikeluarkan oleh Department of Justice Canada yang berjudul Electronic Money laundering an Environmental Scant dan diterbitkan Oktober 1998, ada beberapa dampak negatif yang ditimbulkan oleh kegiatan money laundering terhadap masyarakat. Konsekuensi- konsekuensi yang ditimbulkan itu dapat berupa:
a.       Money laundering memungkinkan para penjual dan pengedar narkoba, para penyeludup dan para penjahat lainnya untuk dapat memperluas kegiatan operasinya. Hal ini akan meningkatkan biaya penegakan hukum untuk memberantasnya dan biaya perawatan serta pengobatan kesehatan bagi para korban atau para pencandu narkoba.memungkinkan para penjual dan pengedar narkoba, para penyeludup dan para penjahat lainnya untuk dapat memperluas kegiatan operasinya. Hal ini akan meningkatkan biaya penegakan hukum untuk memberantasnya dan biaya perawatan serta pengobatan kesehatan bagi para pecancu narkoba.
b.      Kegiatan money laundering mempunyai potensi untuk merongrong keuangan masyarakat (financial community) sebagai akibat demikian besarnya jumlah uang yang terlibat dalam kegiatan tersebut. Potensi untuk melakukan korupsi meningkat bersamaan dengan peredaran jumlah uang haram yang sangat besar.
c.       Pencucian (laundering) mengurangi pendapatan Pemerintah dari pajak dan secara tidak langsung merugikan para pembayar pajak yang jujur dan mengurangi kesempatan kerja yang sah.
d.      Mudahnya uang masuk ke Canada telah menarik unsur yang tidak diinginkan melalui perbatasan, menurunkan tingkat kualitas hidup dan meningkatkan kekhawatiran terhadap keamanan nasional. Sifat money laundering sudah menjadi universal dan bersifat internasional yakni melintasi batas-batas yurisdiksi negara. Transaksi dari negara ke negara sekarang sudah sangat mudah, yaitu melalui sistem cyber space (internet), pembayaran dilakukan melalui bank secara elektronik (cyber payment). Maka tidak mengherankan jika money laundering sudah bisa disebut sebagai kejahatan transnasional, karena praktik money laundering dapat dilakukan oleh seseorang tanpa harus bepergian keluar negeri.[6]
Dari defenisi dan penjelasan di atas, mengenai apa yang dimaksud dengan pencucian uang, maka penulis menyimpulkan bahwa perbuatan pencucian uang adalah rangkaiana dari kegiatan yang merupakan proses yang dilakukan oleh seseorang atau organisasi terhadap uang haram, yaitu uang yang diperoleh dari hasil tindak pidana, dengan maksud untuk menyembunyikan asal usul uang tersebut dari pemerintah atau otoritas yang berwenang melakukan penindakan terhadap tindak pidana pencucian uang dengan cara antara lain memasukkan kedalam sistem keuangan atau financial system kemudian uang tersebut di keluarkan dari sistem keuangan tersebut sebagai uang halal yang sah adanya.

2.2. Money Laundering Sebagai Suatu Tindak Pidana
Tujuan dari kriminalisasi pencucian uang adalah untuk mencegah segala bentuk praktik penyamaran hasil kekayaan yang di dapatkan dari hasil kejahatan. kejahatan pencucian uang diancam dengan sanksi pidana karena sebagai faktor kromonogen. Pelaku dapat menggunakan hasil kejahatannya secara ’aman’ tanpa dicurigai oleh aparat penegak hukum, sehingga berkeinginan untuk melakukan kejahatan lagi, atau untuk melakukan kejahatan lain yang terorganisir.
Apabila dalam penyidikan tindak pidana pencucian uang di temukan kejahatan pokok atau sebaliknya, maka terdakwa dapat diancam pidana karena dalam melakukan kejahatan adanya perbarengan perbuatan. Namun apabila ditemukan setelah perkara dituntut, maka bukan merupakan nabis in idem. Karena pidana pencucian uang merupakan delik yang berdiri sendiri. Akan tetapi hakim juga harus tetap memperhatikan putusannya dalam pemeriksaan perkara tersebut.[7]
Pencucian uang juga dapat menjadi sarana pengembangan kejahatan yang terorganisir, bahaya yang kerugian yang ditimbulkan akan semakin meningkat manakala para pelaku menggunakan cara-cara yang canggih dengan memanfaatkan sarana perbankan dan menggunakan teknologi tinggi (cyber laundering).[8]
Sutan Remi Sjahdeini menyebutkan beberapa dampak kerugian dari tindak pidana pencucian uang bagi masyarakat seperti:
1.      Merongrong sektor swasta yang sah
2.      Merongrong integritas pasar-pasar keuangan
3.      Mengakibatkan hilangnya kendali pemerintah terhadap kebijakan ekonomi
4.      Timbulnya distorsi dan ketidak stabilan ekonomi
5.      Mengurang pendapatan Negara dari sektor pajak
6.      Membahayana upaya privatisasi perusahaan-perusahaan Negara yang dilakukan oleh pemerintah
7.      Mengkibatkan rusaknya reputasi Negara
8.      Menimbulkan biaya tinggi (social cost)[9]
Pencegahan dan pemberantasan money laundering dapat dialakukan melalui pendekatan pidana (penal) dan pendekatan non pidana (non penal). Partisipasi pemerintah RI dalam upaya pemberantasan money laundering merupakan amanat PBB yang tertuang dalam (Vienna Convention 1988), yang kemudian diartifikasi oleh pemerintah melalui UU No 77. dengan penandatanganan konvensi tersebut maka setiap Negara penandatanganan diharuskan untuk melakukan kriminalisasi pencucian uang.[10]Dalam perkembangannya kemudian, pada tahun 2002 Indonesia telah menetapkan kriminalisasi pencucian uang melalui UU No. 15 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 23 Tahun 2003.[11] Diamandemennya UUPU pada tahun 2003 didasarkan pada alas an antara lain, adanya penilaian kalangan Internasional terhadap UUPU tersebut sebagai perangkat yuridis yang belum memenuhi standar Internasional rezim anti pencucian uang.[12]
Hal penting dari Vienna Convention 1988 adalah substansi yang mengokohkan yang terbentuknya Internasional anti money laundering legal rezime, yang merupakan salah satu upaya internasional untuk menetapkan rezim hukum internasional baru. Rezim ini pada dasarnya bertujuan untuk memberantas pencucian uang dengan strategi untuk memerangi hasil kejahatan. Disamping itu, rezim hukum internasional anti pencucian uang ini menentukan pula arah kebijakan untuk melakukan kriminalisasi pencucian uang dengan standar-standar tertentu yang tetap memberi tempat untuk kedaulatan hukum Negara-negara pihak peserta.
Legislasi UUPU di Indonesia, seperti halnya di Negara-negara lain, merupakan bukti adanya perhatian besar pemerintah indonesia terhadap pencucian uang sebagai kejahatan lintas Negara. Kehadiran UUPU memberikan landasan hukum yang kokoh dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang, sekaligus bukti nyata komitmen pemerintah bersama sama dengan masyarakat internasional bahu-membahu menangkal setiap bentuk kejahatan money laundering dalam berbagai dimensi. Besarnya perhatian pemerintah RI terhadap tindak kejahatan ini, karena besarnya dampak yang ditimbulkan. Antara lain, berupa instabilitas ekonomi, distorsi ekonomi, dan kemungkinan gangguan terhadap pengendalian jumlah uang yang beredar.
Money laundering pada dasarnya termasuk salah satu kejahatan terhadap pembangunan dan kejahatan sosial yang menjadi pusat perhatian dan keprihatinan negara RI, bahkan dunia internasional. Money laundering sering diidentifikasikan sebagai salah satu bentuk kejahatan yang terorganisasi (organized crime), kejahatan lintas negara, kejahatan kerah putih, dan kejahatan korporasi.[13] Dengan mengacu pada proses alur kriminalisasinya, kejahatan pencucian uang sesungguhnya kejahatan pada posisi hilir, dimana hulunya adalah berbagai macam kejahatan yang disebut sebagai predicate crime.[14]
Dari kajian yang koprehensif menyimpulkan bahwa unsur - unsur money laundering meliputi : 1 unsur ‘act”, 2 unsur knowledge, 3 unsur objektif. Ketiga unsur itu sudah di akomodasi dalam rumusal pasal 1 angka 1 dan pasal 3 ayat 1 UU No. 25 Tahun 2003. Namun, ada sedikit perbedaan redaksional dalam penempatan unsur ke 3, Dalam pasal 1 angka1 unsur ke 3 dirumuskan dengan kalimat “dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul kekayaan seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah”. Sedangkan dalam pasal 3 ayat 1 dirumuskan dengan kalimat :dengan maksud untuk menyembunyikan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut di duganya merupakan hasil tindak pidana. Dalam analisisnya, Barda Nawawi Arief mengusulkan agar unsur ke 3 dalam pasal 3 ayat 1 disinkronisasikan dengan redaksi angka 1 ayat 1, unsur ke 3 menjadi unsur umum untuk semua varian pencucian uang ; sedangkan dalam pasa 3 ayat 1 terkesan hanya  menjadi unsur  varian tindak pidana pencucian uang menurut pasal 3 ayat 1 huruf g, walaupun mungkin maksud pembuat undang –  undang tidak demikian.[15]
Menurut Barda Nawawi Arief rumusan pengertian istilah “pencucian uang” dalam angka 1 ayat 1 tersebut seyogyanya ditinjau kembali. Rumusan tersebut terlalu panjang dan sudah mirip dengan delik karena menyebutkan semua unsur delik pencucian uang padahal fungsi pasal 1 (dalam bab 1yang bertajuk ketentuan umum) seharusnya memberi penjelasan arti (maksud) dari suatu istilah atau unsur yang disebut dalam rumusan delik atau pasal-pasal lain dalam bab lainnya. jadi, fungsinya bukan menyebutkan semua unsur delik, tetapi sekedar memberikan arti salah satu unsur delik.
Disamping itu, pengertian/ batasan “pencucian uang” dalam angka 1 ayat 1 memberikan kesan hanya pasal 3 ayat (1) yang identik dengan “ tindak pidana pencucian uang” padahal delik dalam pasal 6 ayat (1) yang merupakan pasal dari pasal 3 ayat (1) juga sebenarnya termasuk tindak pidana pencucian uang. Lebih dari itu, istilah pencucian uang disebutkan  dalam berbagai pasal tidak hanya dalam pasa 3 ayat (1) , melian kan di pasal – pasal yang lain. Sesungguhnya yang dimaksud dengan pencucian uang dalam pasal – pasal itu adalah semua tindak pidana yang di ataur dalam bab II dan bab III UU No.25 Tahun 2003. [16]
Dalam rezim anti pencucian uang dikenal adanya tindak pidana asal (predicate crime). Yang menghasilkan harta kekayaan, yang kemudian dijadikan objek tindak pidana pencucian uang. Menurut UUPU, tindak pidana asal tersebut mencakup tindak pidana : korupsi, penyuapan, penyelundupan barang, penyelundupan tenaga kerja, penyelundupan imigran, perbankan, pasar modal, asuransi, narkotika , psikotropika, perdagangan manusia, perdagangan senjata, terorisme, pencuikan, pencurian, penggelapan, pemalsuan uang, perjudian, prostitusi, perpajakan, kehutanan, lingkungan hidup, kelautan dan pidana lainnya yang diancam dengan hukuman pidana penjara diatas 4 tahun yang dilakukan diwilayah Indonesia atau diluar Indonesia dan tindak pidana tersebut merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia.
Modus operandi pencucian uang dari waktu kewaktu semakin kompleks dengan menggunakan teknologi dan rekayasa kauangan yang cukup rumit. Hal itu terjadi baik pada tahap placement, layering maupun integration, sehingga penanganannyapun menjadi semakin sulit dan membutuhkan peningkatan kemampuan secara sistematis dan berkesinambungan. Pemilihan modus operandi pencucian uang tergantung dari kebutuhan pelaku tindak pidana.
Modus operandi pencucian uang dapat di kemukakan antara lain sebagai berikut. Pertama modus loan back, yaitu dengan cara meminjam uang si pelaku sendiri, dan modus ini mengambil 3 bentuk  yaitu, direck loan, back to loan dan parallel loan.[17] Kedua, modus transaksi dagang internasiona, yakni dengan menggunakan dokumen L/C. Ketiga, modus penyelundupan uang tunai atau sistem bank paralel kenegara lain, yakni penyeludupan sejumlah fisik uang keluar negeri, yang sering dengan elektronic transfer. Keempat modus operasi real estate carousel, yakni dengan cara menjual property beberapa kali kedalam kelompok perusahaan yang sama.
 Kelima modus opensi chase  yaitu menyimpan dana dalam batas yang tidak wajib lapor, kemudian mengkonversinya menjadi sertifikat deposito untuk mengambil loan dalam jumlah yang sama di negara yang terkenal dengan tax havennya, seperti Karibia, Keenam modus investasi tertentu, adalahi melakukan investasi dibidang yang sama, sekali jauh dari keumuman, yaitu bisnis lukisan atau barang antik.
Ketujuh, yakni modus over invoices, yaitu dengan cara mendirikan perusahaan ekspor impor di negara pelaku sendiri. Kedelapan, modus perdagangan saham. Kesembilan, modus pizza connection, yakni menginvestasikan sebagian dana hasil kejahatan untuk mendapatkan konsesi pizza dan sebagian dana diinvestasikan di Karibia dan Swiss. Kesepuluh, modus La Mina, yakni menyerahkan dana hasil kejahatan kepada pedagang grosiran emas dan permata sebagai suatu sindikat, untuk disimpan dalam kotak kemasan emasdan kemudian dikirim sebagai produk ekspor kepada pedagang perhiasan anggota sindikat itu.
Kesembilan modus deposit talking, yakni mendirikan perusahaan keuangan seperti Deposit Talking Institution (DTI) di Kanada. Kedua belas, modus identitas palsu, yakni memanfaatkan lembaga perbankan sebagai mesin pemutih uang hasil kejahatan melalui perbankan dengan nama, alamat dan identitas diri yang palsu.[18]
Sekalipun terdapat berbagai modus operndi pencucian uang, tetapi pada dasarnya proses pencucian uang dapat di kelompokkan kedalam tiga tahap kegiatan, yaitu Placement, Layering dan Integration.
Pertama placement (penempatan), yakni upaya penempatan dana yang dihasilkan dari suatu tindak pidana kedalam sistem keuangan, terutama bank. Pada tahap  placement ini, bentuk dari uang hasil kejahatan di konversikan untuk menmyembunyikan asal usul yang tidak sah dari uang itu. Misalnya, hasil yang diperoleh dari perdagangan narkoba yang pada umumnya adalah uang–uang yang berdenominasi kecil kecil dalam tumpukan yang besar–besar dan lebih berat dari narkobanya itu sendiri.
 Dikonversi kedalam denominasi uang yang lebih besar, dan kemudian uang itu dimasukkan langsung kedalam suatu rekening, atau digunaka untuk membeli instrument-instrumen moneter, kemudian menagih uang tersebut dan memasukkannya kedalam rekening–rekening lainnya. Sekali uang tunai itu telah dapat dimasukkan kedalam suatu bank maka uang itu telah masuk kedalam sistem keuangan Negara yang bersangkutan, bahkan kemudian uang itu bahkan telah masuk kedalam sistem keuangan global. [19]
Kedua  layering (transfer) yakni memisahkan hasil tindak pidana dari sumbernya dari beberapa tahap transaksi keuangan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal – ususl dana. Dalam tahap ini pihak launderer berusaha untuk memutuskan hubungan uang hasil kejahatan tersebut dari sumbernya. Hal itu dilakukan dengan cara memindahkan uang tersebut dari suatu bank ke bank yang lain dan dari Negara yang satu kenegara yang lain hingga beberapa kali, yang sering kali pelaksanaannya itu dengan cara memecah-mecah jumlahnya sehingga dengan pemecahan dan pemindahan beberapa kali asal ususl uang tersebut tidak dapat lagi dilacak oleh otoritas moneter dan aparat penegak hukum.
Ketiga Integration yakni upaya menggunakan harta kekayaan yang telah tampak sah, baik untuk dinikmati langsung, diinvestasikan kedalam berbagai bentuk kekayaan material maupun keuangan, dipergunakan untuk pembiayaan bisnis yang sah, ataupun untuk membiayaai kembali tindak pidana.[21]
Dalam melakukan pencucian uang, pelaku tidak terlalu mempertimbangkan hasil yang akan diperoleh, dan besarnya uang yang dikeluarkan, karena tujuan utamanya untuk menyamarkan atau menghilangkan asal usul uang sehingga pada akhirnya dapat dinikmati atau digunakan secara aman. Ketiga kegiatan tersebut di atas dapat terjadi secara terpisah dan simultan, tetapi dilakukan pada umumnya secara tumpang tindih.
Sementar itu, konsekuensi ekonomi dari money laundering adalah :
1.      Terjadinya kesalahan kebijakan karena terjadinya kesalahan pengukuran data statistik ekonomi makro sebagai akibat kegiatan money laundering.
2.      Terjadinya volatilitas pada nilai tukar dan tingkat suku bunga karena besarnya transfer dana lintas batas dan tidak terantisipasi.
3.      Perkembangan dari liabiliti base yang tidak stabil dan struktur-struktur aset yang tidak sehat dari lembaga keuangan atau kelompok dari lembaga keuangan tersebut.
4.      Dampak dari pengumpulan pajak dan dari alokasi belanja publik karena terjadi pelaporan yang direkayasa dan pelkapor mengenai pendapatan yang dia buat lebih rendah daripada yang sesungguhnya.
5.      Misalokasi sumberdaya karena terjadi distorsi nilai aset  dan harga komoditas sebagai akibat pencucian uang.
6.      Dampak tidak sehat terhadap transaksi yang sah sebagai akibat kemungkinan dikaitkannya transaksi itu dengan kejahatan.
Sebagai suatu fenomena kajahatan modern, tindak pidana pencucian uang memiliki sejumlah varian. Dalam UU No. 25 Tahun 2003 Jo. UU No 15 Tahun 2002 di ungkapkan varian-varian di maksud. menurut pendapat J.E Sahetapy, pada dasarnya suatu ketentuan pidana menurut undang–undang terdiri atas tiga komponen yaitu: pasal yang memiliki rumusan yang kompleks, rangkuman singkat dari rumusan dan pemberian nama pada rumusan tindak pidana, ancaman pidana atau rumusan. [22]
Sehubungan dengan UUPU, dapat dikatakan bahwa pasal-pasal pokok yang merupakan yang merupakan tindak pidana pencucian uang pada rumusan deliknya mengandung perbuatan pidana dan perbuatan perdata, dimana perbuatan pidana tercermin pada penyebutan “Tindak pidana, dan hasil tindak pidana” atau harta kekayaan mengidentifikasikan “perbuatan pidana”. Sedangkan penyebutan “transaksi “ dan PJK merupakan “Perbuatan perdata”. Karena itu, dapat dikatakan bahwa kekhususan tindak pidana pencucian uang terletak pada eksisnya  dua entitas perbuatan dalam rumusan delik.[23]
Dalam doktrin hukum pidana, dikenal pembedaan delik komisi dan delik omisi. Dalam delik komisi, rumusannya menghendaki di tepatinya norma yang melarang perbuatan tertentu sehingga terciptalah ketentuan pidana yang mengancam  dengan sanksi pidana. jadi, dalam delik komisi yang ditekankan adalah melarang sutau perbuatan dilakukan. Sementara rumusan delik omisi menghendaki di tepatinya norma yang menyuruh/ memerintahkan/ mengharuskan suatu suatu perbuatan dilakukan.



2.3. Upaya–Upaya Pencegahan Money Laundering
Penanggulangan kejahatan pencucian uang di indonesia kejahatan pencucian uang adalah bersifat internasional, maka diperlukan suatu standar pengaturan dan persepsi yang sama dan bersifat internasional pula untuk ditempatkan pada suatu sentral pengaturan. Dengan demikian, dalam melakukan kriminalisasi ditentukan terlebih dahulu bentuk Model Law on Money Laundering mana yang akan dianut di Indonesia, yang tentu saja disesuaikan dengan sistem hukum serta kondisi keseluruhan yang ada pada Indonesia.
Kemudian dalam membuat ketentuan anti pencucian uang perlu ditentukan definisi, karena hal ini akan menyangkut implikasi dan kadang menimbulkan delima. Implikasi tersebut antara lain bahwa dari divinisi menunjukkan rumusan delik, palaku, serta unsur obyektif dan subyektifnya.
Dengan awal pengaturan anti pencucian uang di Indonesia yang banyak kelemahan, maka dalam amandemen pertama definisi yang sebelumnya tidak dicantumkan, maka dicantumkan dalam pasal 1angka (1) UU No. 25 Tahun 2003 yang isinya sebagai berikut: Pencucian uang adalah menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan, atau manyamarkan asal usul harta kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah.[24]
Dari definisi tersebut di atas, tampak ciri dari kejahatan ini, yaitu bahwa kejahatan ini bukan kejahatan tunggal tetapi kejahatan ganda. Pencucian uang merupakan kejahatan yang bersifat follow up crime atau kejahatan lanjutan atas hasil kejahatan utama (core crime). Penentuan core crime dalam pencucian uang pada umumnya disebut sebagai predicate offence atau unlawful activity atau predicate offense, yaitu menentukan jenis kejahatan apa saja yang hasilnya dilakukan proses pencucian uang. [25]
Selain itu dalam kejahatan pencucian uang terdapat dua kelompok pelaku yaitu kelompok yang berkaitan langsung dengan core crime yang disebut principle violater dan kelompok kedua yang sama sekali tidak berkaitan langsung dengan core crime misalnya penyedia jasa keuangan, baik lembaga perbankan maupun non perbankan, akuntan atau bahkan para lawyer. Kelompok kedua ini disebut sebagai aiders atau abettors.
Dari difinisi tersebut dikembangkan menjadi dua kreteria yaitu Tindak Pidana pencucian uang (Pasal 3 dan 6) dan tindak pidana yang berkaitan dengan Pencucian uang (Pasal 8 dan 9), yang masing-masing pasal tersebut adalah :
Pasal 3 :
1)      Setiap orang yang dengan sengaja :
a.       Menempatkan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana ke dalam penyediaan jasa keuangan, baik atas nama sendiri atau atas nama pihak lain;
b.      Mentransfer harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dari suatu penyedia jasa keuangan ke penyedia jasa keuangan yang lain baik atas nama sendiri maupun atas nama pihak lain.
c.       Membayarkan atau membelanjakan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana, baik perbuatan atas namanya maupun atas nama pihak lain;
d.      Menghibahkan atau menyumbangkan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana baik atas namanya sendiri ataupun atas nama pihak lain;
e.       Menitipkan harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana baik atas namanya maupun atas nama pihak lain;
f.        Membawa keluar negeri harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana, atau
g.       Menukarkan atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan mata uang atau surat berharga lainnya, dengan maksud untuk meyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana, dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun dan denda paling sedikit Rp. 100 Juta dan paling banyak 15 Milyar.
Unsur obyektif dari pasal 3 tersebut sangat luas dan karena merupakan inti delik maka harus dibuktikan. Unsur obyektif tersebut terdiri dari menempatkan, mentransfer, membayarkan atau membelanjakan, menghibahkan atau menyumbangkan, menitipkan, mebawa ke luar negeri, menukarkan atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga berasal dari kejahatan. Sedangkan unsur subyektifnya yang juga merupakan inti delik adalah sengaja, mengetahui atau patut diduga bahwa harta kekayaan berasal dari hasil kejahatan, dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan harta tersebut.
Pasal 6 :
1)      Setiap orang yang menerima atau menguasai :
a.       Penempatan;
b.       Pentransferan;
c.        Pembayaran;
d.       Hibah;
e.        Sumbangan;
f.        Penitipan;
g.        Penukaran harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dipidana dengan penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun dan denda paling sedikit Rp. 100 juta dan paling banyak Rp. 15 milyar. [26]
Unsur obyektif Pasal 6 tersebut adalah menerima atau menguasai: penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga berasal dari hasil tindak pidana. Sedangkan unsur subyektif atau mens reanya adalah mengetahui atau patut diduga bahwa harta kekayaan yang didapat merupakan hasil tindak pidana.
Dalam upaya pemberantasan tindak pidana pencucian uang, terdapat suatu inovasi yang menarik yang merupakan langkah progresif yaitu dibentuk badan investigasi yang bersifat independen maupun tidak independen yang disebut sebagai Financial Intellegence Unit (FIU).[27] Beberapa negara mengatur FIU berada di bawah kepolisian antara lain : Austria, Jerman, Hongaria, Lithuania, New Zealand, Portugal, Singapura, Swedia, dan lain-lain.
Untuk Indonesia badan ini disebut dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), yang tugasnya mengumpulkan dan memproses informasi yang berkaitan dengan kecurigaan terindikasi pencucian uang. Selanjutnya informasi tersebut dianalisis, kemudian hasil analisis ini dikirim kepada kepolisian untuk dilakukan penyelidikan lebih lanjut, dan kemudian dikembangkan lebih lanjut ke tahap penyidikan. Nampaknya pengertian inteligen hanya bagian dari fungsi inteligen polisi atau dalam fungsi inteligen justisia seperti yang melekat pada polisi dan jaksa.
Dilihat dari sudut pandang teori dan filosofi pembentukan FIU adalah sebagai jalan tengah atas keberadaan badan investigasi pada Penyedia Jasa Keuangan (PJK) terutama bank. Karena pada awalnya pelaku banyak menggunakan jasa bank untuk mencuci uangnya, maka diperlukan badan khusus untuk investigasi sebelum masuk penyidikan. Apabila badan ini diserahkan pada pihak bank dikhawatirkan akan ada upaya terlalu melindungi nasabah dan kepentingan bank itu sendiri. Namun jikalau investigasi langsung diserahkan kepada kepolisian dikhawatirkan berdampak buruk bagi bank. Hal ini antara lain kalau polisi kerap kali masuk bank, maka kepercayaan masyarakat terhadap bank tersebut  bisa terganggu dan nasabah bisa beralih ke bank lain.
Bank selalu sangat berhati-hati menjaga rahasia nasabah dan kepercayaan nasabahnya merupakan faktor yang sangat penting, sementara polisi berpandangan bahwa segala sesuatu yang mencurigakan berkecenderungan untuk ditindaklanjuti dan dijadikan tersangka sebagai suatu cermin sikap antusiasme profesionalitasnya. Terkait dengan upaya pemberantasan pencucian uang Penyedia Jasa Keuangan (PJK) diharuskan diterapkan Know Your Customer (KYC) sebagai langkah prefentif dalam upaya pemberantasan pencucian uang dan kewajiban lain.[28]
Menurut pengamatan Yenti Garnasih, Penegakan hukum terhadap ketentuan UUTPPU di Indonesia sejauh ini masih relatif rendah, walaupun demikian  Indonesia telah memiliki perangkat penegakan anti pencucian uang selama ini. Namun implementasi ketentuan ini masih akan menghadapi beberapa hambatan baik dari sisi peraturan, penegakan, maupun cara pandang masyarakat terhadap tindak pidana pencucian uang.[29]
Apabila kita lihat dari sudut substansi masih terdapat celah, misalnya ketentuan tentang larangan structuring (smurfing) dalam UUTPPU tidak diatur secara tegas. Structuring atau semurfing adalah cara yang dipakai oleh pelaku untuk memecah-mecah transaksi guna menghindari kewajiban pelaporan. Seharusnya larangan structuring untuk meghindari kewajiban pelaporan atas transaksi sejumlah Rp.500 Juta tidak dirumuskan dengan tegas dan juga seharusnya berada dalam pasal tersendiri.
Namun hal ini hanya tersirat dalam Pasal 13 (1) huruf (a). Mencermati hal ini nampaknya kurang tepat dan kelihatannya menyalahi prinsip hukum pidana, sebab menurut hemat penulis rumusan hukum pidana harus tegas dan terbatas. Sebab pengaturan sebagaimana Pasal 13 tersebut akan menyulitkan dalam pembuktian dan menimbulkan permasalahan dalam persidangan.
Berkaitan dengan masalah nominal jasa pengacara, sama sekali tidak diatur, ini artinya bahwa pengacara yang menerima honor atas jasa pembelaan terhadap pelaku pencucian uang, sebenarnya bisa dijerat dengan ketentuan Pasal 6, dan ini sesuai dengan ex turpi causa non oritur action. Sebab kalau dibiarkan akan berdampak buruk, yaitu bisa menimbulkan keengganan bagi pengacara untuk membela, sementara pembelaan bagi pelaku dengan ancaman pidana di atas 5 tahun mutlak harus ada pembela.
Apabila masalah ini tidak segera diatur tidak mustahil dalam proses persidangan akan menimbulkan kebingungan tersendiri. Hal ini dapat dilihat pengalaman dari beberapa negara terhadap persoalan ini ditentukan oleh UU untuk meyisihkan sebagian dari hasil kejahatan sepanjang jumlahnya sesuai dengan kewajaran. Mengatur hal ini tidak sama sekali dimaksudkan untuk memberikan toleransi untuk turut serta menikmati hasil kejahatan tetapi lebih pada menjaga hak pembela atas prestasi atau jasa yang telah diberikan dan untuk itu harus dilakukan pemikiran penerapan penegakan hukum secara progresif.
Dijumpai pula kelemahan lain pada UUTPPU. Yakni mengenai pengaturan tentang pembalikan beban pembuktian pada tahap pemeriksaan pengadilan. Ketentuan ini sebenarnya sangat membantu jaksa dalam hal sulitnya membuktikan bahwa harta kekayaan berasal dari kejahatan. Namun tidak satupun pasal yang mengatur bagaimana seandainya si pelaku tidak dapat membuktikan bahwa hartanya tidak berasal dari kejahatan. Berbagai kelemahan dalam UU ini telah diagendakan dalam amandemen yang kedua, meski demikian, nampaknya belum juga memberikan pencerahan.[30]
Penegakan hukum terhadap tindak kejahatan pencucian uang juga sangat ditentukan oleh kinerja PJK. Untuk itu, PJK harus benar-benar terlatih untuk menengahi adanya suspicious transaction yang pada dasarnya sangat berkembang modusnya. Selain itu tentunya mereka harus juga menyadari bahwa berbagai ketentuan dalam UU ini bisa menjerat mereka menjadi pelaku apabila mereka tidak memahami keharusan yang diatur dalam UUTPPU, terutama berkaitan dengan kewajiban pelaporan serta larangan-larangan yang ada seperti anti tipping off yang intinya bahwa mereka dilarang menyampaikan pada nasabah bahwa rekening nasabah sedang dilakukan penyelidikan.[31]
Bentuk kejahatan yang relatif baru berkaitan dengan pencucian uang, paling tidak ada dua masalah besar dalam pelaksanaan penegakan hukum anti pencucian uang, yaitu kerahasiaan bank dan pembuktian. Sementara ada keharusan bagi mereka untuk memberikan informasi kepada penegak hukum apabila diminta, tetapi sebaliknya tidak boleh memberikan hasil pemeriksaan tersebut kepada nasabah. Ketentuan ini berarti pula bahwa kerahasiaan bank harus diperlonggar artinya bahwa kerahasiaan dan peraturan kehati-hatian tidak melarang untuk pemenuhan ketentuan peraturan ini. kendala yang mendasar terhadap peraturan anti pencucian uang datang dari nasabah atau konsumen yang mempunyai right to privacy yang mendapat perlindungan dari hukum tentang kerahasiaan bank.[32]
Kendala terbesar dalam penegakan hukum tentang tindak kejahatan pencucian uang adalah mengenai persoalan pembuktian yang harus dilakukan Jaksa. Persoalan ini paling tidak menurut Raj Bhala, terdapat dua hal prinsip dalam setiap penuntutan pencucian uang yang merupakan tugas jaksa. Pertama, tentang pemahaman unsur-unsur tindak pidana pencucian uang yang sangat rumit. Permasalahan akan semakin meningkat manakala melibatkan penggunaan jasa wire system, hal ini nampaknya dikarenakan tuntutan efisiensi, kecenderungan ekonomi, teknologi dan tuntutan kebutuhan pasar terbuka. Kedua, saat ini di hampir semua negara telah menerapkan wire transfer system secara internal antar bank dan lembaga keuangan. Ini merupakan cara untuk memindahkan dana illegal dengan cepat dan tidak mudah untuk dilacak oleh jangkauan hukum, dimana sekaligus pada saat yang sama terjadilah pencucian uang dengan cara mengacaukan audit trail. Cara ini juga sering disebut sebagai Electronic Fund Transfer (EFT) atau Cyber Payment.[33]
Pada umumnya unsur yang harus dibuktikan dalam ketentuan anti pencucian uang adalah meliputi unsur subyektif (mens rea) dan unsur obyektifnya (actus reus) mens rea yang harus dibuktikan yaitu knowledge (mengetahui atau patut menduga) dan intended (bermaksud). Kedua hal tersebut berkaitan dengan bahwa terdakwa mengetahui dana tersebut barasal dari hasil kejahatan dan terdakwa mengetahui tentang atau maksud untuk melakukan transaksi. Pembuktian inipun sulit, sebab apabila terdakwa telah sedemikian rupa hebatnya untuk menyembunyikan hasil kejahatannya. Untuk itu, benar-benar harus didukung dengan berbagai faktor terutama dari perilaku dan kebiasaan perilaku, inilah pentingnya penegakan hukum progresif. Sehubungan dengan beban pembuktian jaksa yang berat tersebut juga harus dipahami oleh hakim untuk mengembangkan circumtancial evidence karena kalau tidak tentu akan sulit sekali. Terlebih lagi bahwa Indonesia belum berpengalaman dalam pemutusan perkara pencucian uang, maka hakim harus memahami semangat pemberantasan pencucian uang

2.4. Regulasi Tentang Money Laundering.
2.4.1.      Peraturan BI No 11 Tahun 2009 Tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme Bagi Bank Umum.
Dalam menerapkan program anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme, perbankan mengacu pada standar internasional untuk mencegah dan memberantas pencucian uang dan/atau pendanaan terorisme oleh Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF), yang dikenal dengan Rekomendasi 40 + 9 FATF. Ketentuan Bank Indonesia tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principles) yang selama ini diterapkan, dinilai perlu disesuaikan mengacu pada standar internasional yang lebih komprehensif dalam mendukung upaya pencegahan tindak pidana pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme.[34]
Dalam melakukan penerimaan nasabah, perbankan harus menggunakan pendektan berdasarkan resiko dengan mengelompokkan nasabah dengn tingkat resiko terjadinya pencucian uang dan pembiayaan terorisme yang mengacu pada peraturn BI tentang prinsip mengenal nasabah ( Know Your Costumer Principle) agar pencucian uang dan pembiayaan terorisme bisa di minimalisir. Penerapan peraturan BI tersebut juga harus mengacu pada Undang-undang anti pencucian uang dan pembiyaan terorisme.
a.       Pokok-pokok pengaturan
Pokok-pokok pengaturan yang baru dari PBI ini adalah sebagai berikut:
  1. Penggunaan istilah Customer Due Dilligence (CDD) untuk Know Your Customer Principles dalam identifikasi, verifikasi, dan pemantauan yang dilakukan bank untuk memastikan bahwa transaksi tersebut sesuai dengan ketentuan bank.
  2. Penggunaan pendekatan berdasarkan risiko (Risk Based Approach) dalam penerapan Program Anti Pencucian Uang (APU) dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (PPT), sehingga terdapat aturan CDD untuk area berisiko tinggi, Politically Exposed Persons, dan area berisiko rendah;
  3. Pengaturan mengenai pencegahan pendanaan teroris antara lain dengan mewajibkan bank untuk melakukan penelitian lebih lanjut nama Nasabah yang memiliki kemiripan nama dalam daftar teroris.
  4. Pengaturan mengenai Cross Border Correspondent Banking, antara lain mencakup kewajiban bank untuk meminta informasi profil calon bank respondent, melakukan CDD terhadap exisiting Bank Penerima/Penerus berdasarkan Risk Based Approach serta pendokumentasian transaksi.
  5. Pengaturan mengenai transfer dana yang dibagi menjadi transfer dana di dalam atau di luar wilayah negara Indonesia yang disesuaikan dengan 40 + 9 rekomendasi FATF.
  6. PBI ini akan berlaku sejak tanggal ditetapkan. Adapun penyesuaian terhadap Pedoman Pelaksanaan Program APU dan PPT diberikan masa transisi sampai dengan 12 (dua belas) bulan sejak diberlakukannya PBI.
  7. Bank melakukan pengawasan aktif komisaris dan direksi serta kebijakn prosesur agar penerapan program APU dan PPT sesuai dengan prosedur tertulis dalam peraturan BI gar dalam menjalankan peraturan tersebut tidak ada yang melenceng dari ketentuan yang ada.
  8. Bank wajib meneliti dokumen pendukung dan melakukan verivikasi terhadap dokumen penmdukung yang memuat informasi tentang transaksi sebagimana dimaksud dalam pasal 13 dan pasa 17 ayat (1)  dengan mengacu pada identitas pemilik atau pengendali akhir Beneficial Owner.[35]
2.4.2.      Undang-Undang No 25 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Dalam rangka pencegahan tindak pidana pencucian uang, indonesia telah memiliki undang-undang  No 25 Tahun 2003 tentang tindak pidana pencucian uang. Namun, ketentuan dalam undang-undang tersebut diharapkan sudah memenuhu standar internasional dalam proses peradilan tindak pidana pencucian uang agar pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dapat berjalan secara efektif.
Peraturan dalam undang-undang tersebut meliputi:
a.              Penyedia jasa keuangan tidak hanya dibidang keuangan saja tetapi juga meliputi jasa lainnya yang berkaitan dengan keuangan. Hal ini dimaksudkan untuk mengantisipasi pelaku tindak pidana pencucian uang yang memanfaatkan bentuk Penyedia Jasa Keuangan yang ada dalam masyarkat namun belum wajib menyampaikan laporan transaksi keuangan dan sekaligus mengantisipasi terjadinya bentuk penyedia jasa keuangan baru yang belum diatur dalam undang-undang.
b.             Transaksi keuangan mencurigakan merupakan transaksi yang dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan harta kekayaan nyang diduga merupakan hasil dari tindak pidana.
c.              Pembatasan jumlah hasil tindak pidana sebesar Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) atau lebih yang diperoleh dari kegiatan tindak pidana, karena untuk menentukan suatu perbuatan dapat dipidana tidak tergantung kepada besar atau kecilnya hasil suatu tindak pidana yang diperoleh.
d.             Cakupan tindak pidana asal (Predicate Crime) diperlukan untuk mencegah tindak pidana yang menghasilkan harta kekayaan dimana pelaku tindak pidana berusaha menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan yang diperoleh dari hasil kejahatan.
e.              Jangka waktu pelaporan transaksi keuangan mencurigakan tidak lebih dari 3 hari kerja setelah Penyedia Jasa Keuangan mengetahui adanya unsur transaksi keuangan mencurigakan. Hal ini dimaksudkan agar transaksi mencurigakan tersebut agar segera terlacak.
f.               Penambhan ketentuan yang menjamin kerahasiaan penyusunan disampaikan kepada PPATK  atau penyidik (Tripping Off). Hal ini dimaksudkan untuk mencegah berpindahnya hasil tindak pidana dan lolosnya pelaku tindak pidana pencucian uang  sehingga mengurangi efektifitas pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang. [36]

2.4.3.      The Financial Action Task Force on Money Laundering (Empat Puluh Rekomendasi Tentang Money Laundering)
FATF adalah suatu badan antar pemerintah yang bertujuan untuk mengembangkan dan meningkatkan kebijakan untuk memberantas pencucian uang, pemrosesan hasil tindak pidana untuk menyembunyikan asal usulnya yang dilakukan secara illegal oleh para pelaku tindak pidana money laundering. Kebijakan ini bertujuan untuk mencegah digunakannya hasil tindak pidana tersebut kedalam aktifitas tindak pidana kedepan, serta mencegah agar hasil tindak pidana tersebut tidak mempengaruhi aktifitasperekonomian yang sah (legal).
Empat puluh rekomendasi ini menetapkan kerangka kerja dasar bagi usaha-usaha anti pencucian uang dan didesain untuk penerapan secara universal. Keempat puluh rekomendasi ini mencakup system keadilan yang dilakukan terhadap Negara-negara yang tergabung dalam FATF, penegakan hukum yang berkesinambungan bagi Negara yang tergolong dalam daftar hitam tindak pidana pencucian uang, sistem finansial serta pengaturannya dalam kerjasama internasional.[37]
Rekomendasi ini mulanya disusun pada tahun 1990. Kemudian pada tahun 1996, keempat puluh rekomendasi ini diperbaiki untuk memperhitungkan pengalaman yang diperoleh selama empat tahun terakir serta mencerminkan perubahan-perubahan yang telah terjadi dalam masalah pencucian uang.[38]
Negara-negara yang tergabung dalam FATF jelas-jelas berkomitmen untuk menerima disiplin berkenaan dengan pengawasan multilateral dan tinjauan ulang. Semua Negara anggota mempunyai dan memiliki implementasi mereka atas empat puluh rekomendasi yang diawasi melalui pendekatan dua cabang, suatu praktek penilaian kedalam tahunan dan proses timbal balik yang lebih terinci berdasarkan Negara anggota dikenakan pemeriksaan langsung.
Keempat puluh rekomendasi tersebut antara lain memuat: tentang kerangka umum yang termuat dalam  konvensi wina 1988. tentang UU kerahasiaan institusi financial agar tidak meghalangi rekomendasi ini berjalan, kerjasama multilateral dalmm pemberantasan tindak pidana pencucian uang. Peran sistem hukum nasional  dalam pemberantasan pencucian uang dengan mengambil tindakan tindakan  legislative yang diperlukan, peran system financial dalam pemberantasan tindak pidana pencucian uang dengan mengacu pada rekomendasi  dan konvensi Wina 1988. Tentang pelaksanaan rekomendasi 10 sampai dengan rekomendasi 29 tidak hanya berlaku bagi bank, juga berlaku bagi institusi non bank yang tidak tunduk pada system pegawasan  kehati-hatian resmi suatu Negara.
Peran kerjasama  internasional yang tertuang dalam empat puluh rekomendasi Financial Task force on money laundering yaitu menyangkut kerjasama administratif serta pertukaran informasi umum, pemerintah harus mempertimbangkan untuk mencatat arus uang internasional dengan mata uang manapun agar pencucian uang bisa ditekan dari peredaran uang hasil kejahatan. pertukaran informasi yang berkaitan dengan transaksi mencurigakan dengan melakukan pengamanan yang ketat agar pertukaran informasi ini sesuai dengan aturan internasional.





[1] Yenti Garnasih, Anti Pencucian Uang Sebagai Strategi Untuk memberantas Kejahatan Keuangan (profit Oriented Crimes), (Jurnal Hukum Progresif, PDIH Undip Semarang, 2006), hlm. 40.

[2] Ibid, hlm. 57

[3] Yati Garnasih, Kriminalisasi Pencucian Uang, (Jakarta: UI Fakultas Hukum  Pasca Sarjana, 2003),  hlm. 5

[4]Undang–Undang No. 25 tahun 2003 Tentang Tindak Pidana Money Laundering. (Jakarta: Eko Jaya, 2003) , hlm. 36

[5] Ibid.  hlm. 22


[6] Sutan Remi Syahrani, Seluk Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pembiayaan Terorisme, Jakarta: Grafiti. 2004. Hlm. 5


[7] Deni Krisnawati, dkk 2006,  Bunga Rampai Hukum Pidana Khusus. (Pena Pundi Aksara , Jakarta) , hlm .126

[8] Yeni Gernasih, Penerapan Undang-undang No 15 Tahun 2003 Tentang tindak Pidana Pencucian Uang, (Eko Jaya:Jakarta, 2004),  hlm 5

[9] Sutan  Remi Sjahdeini, Seluk Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pembiayaan Terorisme, ( Garfiti: Jakarta, 2004),  hlm. 19-23

[10] Yunus Husein, Bunga Rampai Pencucian Uang, (Book Tarace&Libarari, 2007),  hlm. 94.

[11] Yunus Husein,  Bunga Rampai Anti Pencucian Uang, Hlm. 9
[12] UU No, 25 Tahun 2003 tentang  perubahan atas UU No.15 Tahun 2002  Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. hal. 22

[13] M. Arif Amrullah, Tindak Pidana Pencucian Uang ( Money Laundering) ( Malang: Banyu Media Publising, 2004), hlm. 13

[14] Mengenai kejahatan yang termasuk kedalam predicate crime telah di sebut dalam pasal  2 ayat (1) UU No.25 Tahun 2003 Jo. UU No. 15 Thun 2002. Hlm 37

[15] Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penggulangan Kejahatan, (Jakarta: Kencana Prenada Media,2008), hlm. 221

[16] Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penggulangan Kejahatan, (Jakarta: Kencana Prenada Media,2008),  hlm.  202 dan 216 - 218

[17] Maksud dari  direct loan  adalah dengan cara meminjam dari perusahaan luar negeri        ( semacam perusahaan bayangan  yang direksinya dan pemegang saham adalah pelaku sendiri); back to loan  adalah  dengan cara meminjam uang dari cabang bank asing di negaranya; parallel loan  adalah pembayaran internasional yang memperoleh asset diluar negeri (Yusuf Saprudin Money laundering, (kasus L/C fiktif BNI 46), hlm. 18)

[18] Yusuf Sapruddin, Money Laundering (Kasus L/C Fiktif BNI 1946), hlm. 18-21

[19] Sutan Remy Sjahdeini, Seluk Beluk Pencucian Uang dan Pembiayaan Terorisme,             ( Jakarta: Pustaka Utama Grafiti,  2004),  hlm.4-5

[20] Ibid, hlm. 30

[21] Dani Krisnawati, dkk,  Bunga Rampai Hukum Pidana Khusus, (Pena Pundi Aksara: Jakarta, 2006),  hlm. 125
[22] J.E Sahetapy, Hukum Pidana, (Yogyakarta, Liberty, 1995), hlm. 24

[23] Tb. Irman S, Hukum Pembuktian Pencucian Uang, (Money Laudering), (Bandung : LQS Publising, 2006) , hlm. 228 - 230
[24] Yunus Husein, Bunga Rampai Pencucian Uang, (Book Tarace&Libarari, 2007),  hlm. 94
[25] Ibid, hlm. 24.
[26] UU No, 25 Tahun 2003 tentang  perubahan atas UU No.15 Tahun 2002  Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. hal. 28


[27] Speaker‘s Notes International Workshop Indonesia rancangan Money Laundering Law, (Jakarta, 29-30 May 2000), hlm.  3
[28] a. Hajjah, Hukum Pidana Ekonomi Modern,(Bandung,: Citra Aditya Bekti, 2001), hlm. 56.

[29] Ibid. hlm. 49

[30] Yunus Husein, Bunga Rampai Pencucian Uang,( Book Tarace&Libarari, 2007),  hlm.27

[31] Ibid, hlm. 27

[32] Ibid, hlm. 21

[33] Raj Bhala, The Interveted Pyramid of Wire Transfer Law, (KY.L.J.82, 1993), hal 347.
[34] Peraturan BI  Nomor 11Tahun 2009 tentang penerapan program anti pencucian Uang dan pencegahan pendanaan terorisme bagi bank umum.(MQS Publishing), Jakarta. Hlm. 411-423
[35] Ibid. hlm. 423
[36] TB. Irmas.S. Hukum Pembuktian Pencucian Uang,(MQS Publishing, Jakarta2001), hlm. 379
[37] M. Arif Amrullah, Money Laundering.( Malang: Bina Media, 2003), hlm. 433
[38] Ibid. hlm. 475

1 komentar: